Saya baru saja selesai membaca buku karangan Jeffrey Lang, Aku beriman, maka aku bertanya. Buku hasil pinjam seorang kawan ini menceritakan perjalanan panjang pengarangnya – seorang matematikawan Amerika, guru besar di Universitas Kansas, Lawrence, USA. – dari ateis sampai ke Islam. Sebuah perjalanan panjang yang kemudian memberi banyak pelajaran untuk pembacanya, setidak-tidaknya untuk saya
Buku ini merupakan bagian pertama dari buku ketiganya, Losing My Religion : A Call for Help (2004), dan untuk edisi Indonesia dibagi menjadi dua. Dituturkan secara apa adanya, dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Juga menjawab –dengan logis, tak terbantahkan, dan menyegarkan iman — pertanyaan-pertanyaan kritis seputar Islam : autentisitas Al Quran, sifat-sifat Allah, derita manusia dan keadilan Allah, kenabian Muhammad dan pernikahan Beliau SAW, dan sebagainya.
Salah satu bagian yang membuat saya tertarik untuk terus membacanya adalah bagian awal yang menceritakan perjalanan Jeffrey Lang masuk Islam, dimana ia dipinjami teman muslimnya sebuah kitab yang di sampulnya bertuliskan “The Holy Quran”, dan kemudian dia mencoba membaca kitab itu, seperti kutipan berikut ini :
Apakah AlQuran sedang berbicara kepadaku?
“Kitab (Alquran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (Q.S. 2:2)Aku merasa bergetar ketika membaca ayat ini. Aku bertanya pada diri sendiri: Apakah kau sedang berbicara padaku? Aku baru membuka halaman dua Kitab Alquran ini, dan telah merasakan suatu sensasi yang kemudian berulang kali
kualami ketika membaca ayat-ayat lainnya. Pada halaman sebelumnya tertulis surah pertama, yang sesungguhnya merupakan doa mohon petunjuk. Bunyi selengkapnya dari surah tersebut adalah sebagai berikut :“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang; Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam; Maha Pemurah lagi Maha Penyayang; Yang menguasai hari pembalasan; Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan; Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahi nikmat; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat” (Q.S. 1: 1-7)
Pada halaman kedua Alquran, permulaan surah kedua, Tuhan sendiri menyapa pembaca Kitab-Nya dengan menyatakan bahwa petunjuk yang mereka minta itu tepat berada di tangan mereka. Lantas, aku berpikir : Engkau mengatakan bahwa kitab ini adalah petunjuk yang kuminta? Aku membaca kembali ayat kedua itu :
“Kitab (Alquran) ini”
“Sebuah cara yang orisinal dan tepat dalam menyampaikan wahyu!” kataku pada diri sendiri. Alih-alih menyuguhkan sejarah sebuah umat, atau biografi seorang guru yang agung, atau kumpulan sabda seorang nabi, penulisnya yang semula kukira adalah Nabi Muhammad malah menyusun Kitab Suci ini dalam bentuk kalimat langsung dari Tuhan untuk manusia. Aku berpikir bahwa inilah setepatnya yang harus kita anggap sebagai wahyu ilahi -serupa dengan Sepuluh Perintah [untuk Nabi Musa] yang telah dibukukan.
Sewaktu membaca Alquran, aku mulai mengagumi kecerdasan penulisnya. Aku sangat terkesan dengan pengalaman-pengalaman serupa yang berkali-kali kurasakan, seperti telah kusebutkan sebelumnya, tetapi dalam tingkat yang makin dahsyat.
Di sini aku merasa ngeri karena sepertinya Alquran benar-benar sedang berbicara kepadaku, secara intelektual dan, karena terbatasnya kata yang lebih baik, secara spiritual. Aku membayangkan bahwa penulisnya mencantumkan banyak sekali ayat yang dia tahu akan memancing pertanyaan-pertanyaan dan tanggapan-tanggapan tertentu dari pembaca, dan makanya dia mengantisipasi tanggapan-tanggapan tersebut dalam ayat-ayat berikutya
Dari potongan halaman buku itu, saya kemudian tertarik untuk terus membacanya, membaca pengalaman penulis sampai ke Islam, padahal sebelumnya ateis, sebuah perjalanan yang saya yakin sarat dengan hikmah. Bagi yang sudah dari lahir berlatar Islam, mungkin merasa tak begitu istimewa ketika membaca Alquran -atau malah jarang membacanya-, tetapi bagi Jeffrey Lang, yang sebelumnya tidak ada latar Islam sama sekali -bahkan (sebelumnya) ateis – ini merupakan pengalaman yang sangat-sangat tak ternilai yang kemudian mengantarkannya pada hidayah yang diperolehnya dengan membaca, mencari dan bertanya, lalu menemukan jawabannya.
Salam
Powered by ScribeFire.